Keadaaan Desa Sungsang, Sumatera Selatan (Bagian 3)
Hai! Saya Casandra, mahasiswi Ilmu Kelautan dari Universitas Sriwijaya,
Palembang. Saya bukan orang Palembang, saya merantau seorang diri tanpa
satupun keluarga disini. Sekarang saya sudah memasuki semester 6. Insya Allah
wisuda tahun 2016. AMIN.
Waktu itu saya pernah berjanji akan menceritakan pengalaman ketika membuat film dokumenter di perairan Selat Bangka. Awalnya saya dan rekan-rekan hanya berniat mengerjakan tugas kuliah saja, namun apa yang saya dapat dari perjalanan itu sungguh melebihi konteks "tugas" itu sendiri. Benar-benar pengalaman yang fantastis dapat mengetahui Desa Sungsang dan keseharian penduduknya, terlebih lagi dalam hal kegiatan menangkap ikannya, dimana hal tersebut merupakan mata pencaharian utama penduduk di desa itu.
Walaupun desa itu sangat kotor karena penumpukan sampah, tapi Desa Sungsang dapat dikatakan sebagai sebuah desa kecil yang berkembang pesat. Namun film dokumenter yang saya garap bersama rekan-rekan tidak mengisahkan tentang desa itu sendiri, melainkan mengenai keseharian nelayan di bagan tancap (kalau belum tahu tentang bagan tancap, silahkan baca postingan saya sebelumnya). Saya hanya singgah sebentar di desa itu untuk kemudian berangkat menuju bagan tancap di tengah-tengah perairan Selat Bangka. Untuk mencapai tempat itu diperlukan waktu 1,5 jam dari Desa Sungsang menaiki perahu nelayan setempat.
Di bagan tancap sendiri, tidak terdapat listrik. Jelas sekali alasannya, mengingat lokasi dari bagan itu ialah di tengah laut. Mungkin saja kami menyewa sebuah genset, tapi sepertinya akan sangat mahal, dan tentunya hal itu bukanlah pekerjaan mudah. Untuk membawanya saja sudah sangat merepotkan, belum lagi untuk memindahkan genset tersebut dari kapal ke bagan tancap. Perlu anda ketahui, bahwa jarak antara permukaan laut dengan bagai tancap tersebut kurang lebih adalah 4 meter--ini lah yang menjadi dasar pembuatan judul untuk film kami--. Kita harus menaiki tangga untuk mencapai bagan itu. Akhirnya kami pun memutuskan untuk tidak menyewa genset.
Kami memang sudah mempersiapkan perlengkapan untuk keterbatasan listrik disini. Kami sudah membawa batere cadangan dan juga 2 kamera perekam, tak lupa juga kami membawa lampu emergency untuk penerangan saat pengambilan gambar di malam hari. Semua persiapan sudah oke, maka kami pun memulai proses shooting. Pengambilan gambar dilakukan tanpa mengikuti alur film. Hal ini dilakukan untuk menghemat waktu yang kita punya. Nanti selama proses editing, barulah video-video tadi diurutkan sesuai naskah yang sudah dibuat. Selama proses shooting, banyak sekali pelajaran hidup yang saya dapat. Perjuang nelayan memang patut diacungi jempol.
Tapi sejujurnya, memang menyedihkan sekali kehidupan nelayan di bagan tancap. Bayangkan saja, bagan itu terletak di tengah laut tanpa apapun yang menghalangi kencangnya tiupan angin. Siang hari begitu panas oleh sinar matahari, dan malam hari begitu dingin akibat hembusan angin laut. Sungguh keadaan lingkungan yang tidak bersahabat. Saya sangat kagum dengan kemampuan para nelayan disana dalam beradaptasi menghadapi lingkungan yang ekstrim setiap harinya. Bahkan jam tidur mereka pun tak seperti orang-orang kebanyakan. Mereka tidur di siang hari, dan mulai bekerja pada malam hari. Dapatkah anda membayangkannya?
Makanan yang mereka konsumsi sehari-hari juga sangat tidak bergizi. Seringkali mereka hanya menyantap nasi tanpa lauk. Kalaupun ada lauk, pastilah hanya ikan-ikan kecil sisa tangkapan. Saya tidak menanyakan, mengapa mereka memakan ikan-ikan kecil sisa tangkapan, padahal bisa saja mereka mengkonsumsi ikan tangkapan sendiri. Namun dengan melihat keadaan mereka disana, saya tahu bahwa mereka tidak mungkin memakan ikan tangkapannya sendiri, sementara ikan-ikan yang didapatkan belum tentu cukup untuk menafkahi keluarga mereka. Sungguh sebuah ironi.
Saya dan rekan-rekan tak dapat berkata apa-apa melihat kesusahan yang mereka alami. Bagaimana sulitnya hidup sebagai nelayan "upah", ditambah lagi saat jumlah ikan tangkapan berkurang. Belum lagi keadaan lingkungan tak bersahabat yang selalu berancang-ancang untuk merenggut nyawa mereka kapanpun juga. Ini bukan tentang mencari sesuap nasi. Ini soal hidup dan mati. Bahkan tak bertemu keluarga dalam jangka waktu yang panjang juga merupakan hal yang biasa. Bagi mereka, laut adalah hidup untuk mereka dan juga hidup untuk keluarga-keluarga mereka.
Bekerja dari petang hingga menjelang subuh, menahan rasa kantuk dan letih yang tak tertahankan. Menurunkan jaring dan menunggu ikan semalam suntuk di tengah gelapnya lautan dan kencangnya angin. Mau bagaimana lagi? Anak dan istri masih butuh dikasi makan. Mereka hidup tanpa pilihan. Dinginnya angin laut dikala malam sudah menjadi kawan seperjuangan bagi mereka. Bahaya ular laut, gatalnya tersengat ubur-ubur dan basah kuyup air asin tak lagi menjadi alasan mereka untuk merengek kepada Tuhan demi hidup yang lebih baik. Walaupun fisik mereka semakin melemah akibat tenaga yang tekuras habis setiap harinya, namun sungguh tak imbang dengan yang mereka dapatkan utntuk nafkah keluarga.
Mereka tak meminta hidup seperti itu. Mereka tak pernah meminta dilahirkan dengan nasib seperti itu. Tapi mereka hanya bungkam menahan segala kepedihan, dan menjalani semuanya dengan sebuah harapan, bahwa hidup mereka akan membaik suatu hari nanti. Adilkah?
Comments
Post a Comment